IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang dalam
rapat paripurna pada akhir Maret lalu. Banyak pihak menyatakan
persetujuannya, terutama yang ada kaitannya dengan situs porno.
Persetujuan ini didukung oleh media massa, yang beritanya ingar-bingar
soal UU ITE ini, dan anehnya seolah-olah UU ITE hanya akan mempersoalkan
pornografi di dunia maya. Padahal tidak.
Padahal Bab VII Pasal 27 menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang (a) melanggar kesusilaan (b) melanggar perjudian (c) pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman dihukum didenda Rp 1 miliar dan pidana penjara paling lama enam tahun".
UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media (media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai bagian dari pembuktian dalam proses persidangan.
Kesiapan aparat
Setiap ada pengesahan sebuah undang-undang, kesiapan aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang selalu dipertanyakan, selain sumber daya, yang harus ditingkatkan dari sisi keahlian, pengetahuan, dan kecakapannya. Kesamaan persepsi akan pelaksanaan UU ITE ini sangat penting bagi terjaminnya penegakan hukum. Kesamaan persepsilah yang nantinya akan menjadi bagian utama dan berfokus pada pelaksanaan UU ITE. Hal ini karena adanya kalimat pelanggaran kesusilaan (pornografi dan pornoaksi) dan pelanggaran dalam bentuk pencemaran nama baik.
Aparat penegak hukum harus memiliki kesamaan pandang dan paradigma dengan kedua istilah di atas agar di kemudian hari tidak terkesan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Pengertian pelanggaran pencemaran nama baik juga harus secara khusus dan spesifik diatur dalam aturan pelaksanaan UU ITE ini.
Kita belum selesai membahas apa dan bagaimana pengertian serta makna dari unsur pornografi dan pornoaksi dalam Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Tapi unsur turunan yang lebih luas pengertian dan maknanya muncul dalam UU ITE ini, yaitu kesusilaan. Batasan apa yang dipakai dalam UU ITE ini terhadap kesusilaan? Demikian pula halnya dengan pengertian dan makna dari unsur kata "pencemaran nama baik". Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, kalangan media dan narasumber masih memperdebatkannya dalam proses persidangan.
Namun, pengertian dari pencemaran nama baik, yang tidak ada hubungannya dengan pornografi dan pornoaksi, justru muncul dalam UU ITE ini. Jika tidak mengenal batasan dan kesamaan persepsi dari para penegak hukum, tentunya akan timbul masalah yang pelik dan tak berkesudahan. Perusahaan pers dan pekerja akan mendapat satu lagi ancaman, dari sekian banyak yang sudah ada. UU ITE ini akan menjadi landasan bagi para narasumber yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh pers.
Melindungi pers
Padahal, jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (1), disebutkan, "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara," dan pasal 4 ayat (2) menyatakan, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi."
Sedangkan pasal 4 ayat (3) berbunyi, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi." Demikian pula pasal 8 telah dengan jelas mengatur, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum."
Dahulu, pada masa pemerintahan Orde Baru, mantan Menteri Penerangan Harmoko kerap menyebut pers sebagai "insan", yang menyamakan pers seperti manusia setengah dewa dengan tugas mulia dan penuh perlindungan. Pers dianggap sebagai makhluk yang tak bisa disentuh oleh hukum. Tapi kini tidak. Ada banyak persoalan yang mengancam pers. Bahkan kasus Bersihar Lubis membuktikan seorang kolumnis pun dipidana satu bulan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Terkait dengan pencemaran nama baik, ini dapat terjadi pada individu yang bukan pers. Para blogger dapat dikenai sanksi Rp 1 miliar dan penjara enam bulan jika terbukti mencemarkan nama baik seseorang. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat Pasal 28-F menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada."
Empat asas, tiga unsur
Implementasi UU ITE ini akan banyak ditunggu masyarakat. Namun, implementasi ini harus memiliki empat asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration). Pertama, asas kepastian hukum di mana setiap pelanggar UU ITE ini harus mendapat perlakuan yang sama. Kedua, asas kejujuran dan keterbukaan (fair play), berarti para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik itu, harus bersikap adil dan membela kepentingan masyarakat tanpa keberpihakan kepada seseorang atau segolongan orang, dan bertindak atas nama publik untuk kepentingan masyarakat.
Ketiga, asas kepantasan dan kewajaran yang memiliki arti setiap pelanggaran harus diperlakukan dengan pantas dan wajar, tanpa tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Keempat, asas pertanggungjawaban, di mana setiap tindakan penegak hukum harus dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Padahal Bab VII Pasal 27 menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang (a) melanggar kesusilaan (b) melanggar perjudian (c) pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman dihukum didenda Rp 1 miliar dan pidana penjara paling lama enam tahun".
UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media (media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai bagian dari pembuktian dalam proses persidangan.
Kesiapan aparat
Setiap ada pengesahan sebuah undang-undang, kesiapan aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang selalu dipertanyakan, selain sumber daya, yang harus ditingkatkan dari sisi keahlian, pengetahuan, dan kecakapannya. Kesamaan persepsi akan pelaksanaan UU ITE ini sangat penting bagi terjaminnya penegakan hukum. Kesamaan persepsilah yang nantinya akan menjadi bagian utama dan berfokus pada pelaksanaan UU ITE. Hal ini karena adanya kalimat pelanggaran kesusilaan (pornografi dan pornoaksi) dan pelanggaran dalam bentuk pencemaran nama baik.
Aparat penegak hukum harus memiliki kesamaan pandang dan paradigma dengan kedua istilah di atas agar di kemudian hari tidak terkesan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Pengertian pelanggaran pencemaran nama baik juga harus secara khusus dan spesifik diatur dalam aturan pelaksanaan UU ITE ini.
Kita belum selesai membahas apa dan bagaimana pengertian serta makna dari unsur pornografi dan pornoaksi dalam Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Tapi unsur turunan yang lebih luas pengertian dan maknanya muncul dalam UU ITE ini, yaitu kesusilaan. Batasan apa yang dipakai dalam UU ITE ini terhadap kesusilaan? Demikian pula halnya dengan pengertian dan makna dari unsur kata "pencemaran nama baik". Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, kalangan media dan narasumber masih memperdebatkannya dalam proses persidangan.
Namun, pengertian dari pencemaran nama baik, yang tidak ada hubungannya dengan pornografi dan pornoaksi, justru muncul dalam UU ITE ini. Jika tidak mengenal batasan dan kesamaan persepsi dari para penegak hukum, tentunya akan timbul masalah yang pelik dan tak berkesudahan. Perusahaan pers dan pekerja akan mendapat satu lagi ancaman, dari sekian banyak yang sudah ada. UU ITE ini akan menjadi landasan bagi para narasumber yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh pers.
Melindungi pers
Padahal, jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (1), disebutkan, "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara," dan pasal 4 ayat (2) menyatakan, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi."
Sedangkan pasal 4 ayat (3) berbunyi, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi." Demikian pula pasal 8 telah dengan jelas mengatur, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum."
Dahulu, pada masa pemerintahan Orde Baru, mantan Menteri Penerangan Harmoko kerap menyebut pers sebagai "insan", yang menyamakan pers seperti manusia setengah dewa dengan tugas mulia dan penuh perlindungan. Pers dianggap sebagai makhluk yang tak bisa disentuh oleh hukum. Tapi kini tidak. Ada banyak persoalan yang mengancam pers. Bahkan kasus Bersihar Lubis membuktikan seorang kolumnis pun dipidana satu bulan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Terkait dengan pencemaran nama baik, ini dapat terjadi pada individu yang bukan pers. Para blogger dapat dikenai sanksi Rp 1 miliar dan penjara enam bulan jika terbukti mencemarkan nama baik seseorang. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat Pasal 28-F menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada."
Empat asas, tiga unsur
Implementasi UU ITE ini akan banyak ditunggu masyarakat. Namun, implementasi ini harus memiliki empat asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration). Pertama, asas kepastian hukum di mana setiap pelanggar UU ITE ini harus mendapat perlakuan yang sama. Kedua, asas kejujuran dan keterbukaan (fair play), berarti para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik itu, harus bersikap adil dan membela kepentingan masyarakat tanpa keberpihakan kepada seseorang atau segolongan orang, dan bertindak atas nama publik untuk kepentingan masyarakat.
Ketiga, asas kepantasan dan kewajaran yang memiliki arti setiap pelanggaran harus diperlakukan dengan pantas dan wajar, tanpa tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Keempat, asas pertanggungjawaban, di mana setiap tindakan penegak hukum harus dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Adapun ketiga unsur pelaksanaan hukum adalah, pertama, unsur kultural di
mana para penegak hukum wajib mempertimbangkan unsur budaya dalam
masyarakat. Kedua, unsur struktural yang artinya menitikberatkan pada
penegak hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan haruslah
memegang persepsi yang sama tentang arti dan makna. Ketiga, adanya unsur
substansial, yaitu ketentuan dan pelaksanaan undang-undang itu sendiri
seharusnya memiliki efek jera terhadap pelaku dan pencegahan bagi calon
pelaku.
Bukan untuk melanggengkan kekuasaan atau untuk menjadikan kita bangsa
yang anti-kritik. Lebih dari itu, UU ITE bukanlah UU Pencemaran Nama
Baik atau UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang mencantumkan pengertian
"substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk
menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan,
dan/atau erotika", sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi
seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah Ketentuan yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,
yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan /atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan indonesia.
UU ITE mengatur
berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memnafaatkan internet sebagai
medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE juga
diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatn melalui internet. UUITE
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan digital sebagi bukti yang sah di pengadilan
UUITE terdiri dari 13 bab dan
54 pasal :
PERBUATAN
YANG DILARANG
Pasal 27
1.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
2.
2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan perjudian.
Pasal 28
1. 1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
2.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 36 UUITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 27 sampai pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah Ketentuan yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan /atau di luar
wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan indonesia.
UU ITE mengatur
berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memnafaatkan internet sebagai
medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE juga
diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatn melalui internet. UUITE
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan digital sebagi bukti yang sah di pengadilan
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang
dalam rapat paripurna pada akhir Maret lalu. Banyak pihak menyatakan
persetujuannya, terutama yang ada kaitannya dengan situs porno. Persetujuan ini
didukung oleh media massa, yang beritanya ingar-bingar soal UU ITE ini, dan
anehnya seolah-olah UU ITE hanya akan mempersoalkan pornografi di dunia maya.
Padahal tidak.
Padahal Bab VII Pasal 27 menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang (a) melanggar kesusilaan (b) melanggar perjudian (c) pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman dihukum didenda Rp 1 miliar dan pidana penjara paling lama enam tahun".
UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media (media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai bagian dari pembuktian dalam proses persidangan
Padahal Bab VII Pasal 27 menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang (a) melanggar kesusilaan (b) melanggar perjudian (c) pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman dihukum didenda Rp 1 miliar dan pidana penjara paling lama enam tahun".
UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media (media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai bagian dari pembuktian dalam proses persidangan